Rabu, 14 Agustus 2013

FF Dream // Kibum // Birthaday present

Tittle      : Dream
Auhor   : ZenDictator
Cast       : -Kibum
                  -Lil (OC)
Genre : Crime, Romance
Rated : PG-14


Special for Lil’s birthday...


Pagi itu, suhu dingin masih membaur dengan aroma pohon cemara di dipan rumah. Suasana setelah hujan di malam hari membuat suasana kenyamanan tersendiri bagi pemilik rumah.
Kibum menikmati pagi itu, semilir angin beberapa kali menerbangkan helai-helai rambut hitamnya.  Jarinya menari nari diatas tuts laptop sedangkan matanya tak pernah tidak fokus pada layar kaca di atasnya.
Ide seolah olah meluncur dengan deras di kepalanya, menyesak, memenuhi. Seakan berebutan memilah kata yang tepat untuk ia tulis.

“Kau seperti mendapat mangsa baru, sayang”  seorang wanita menyapanya. Ia baru saja terbangun dari tidur lelapnya beberapa jam lalu. “Apa yang kau fikirkan?” Lil bertanya, namun tidak sungguh sungguh bertanya. Tepatnya ia hanya mencoba mengisi kekosongan yang ada diantara mereka.
 Mata coklatnya mengarah pada punggung Kibum tidak jauh dari tempatnya saat ini. Ia mencoba turun dari tempat tidurnya, namun niat itu ia urungkan mengingat akan hal yang baru mereka selesaikan beberapa jam lalu. Rasanya sakit, masih sakit di sekitar daerah itu. Ia merasa kesulitan berdiri.

Keheningan kembali tercipta. Lil mendengus beberapa kali menunggu sebuah kata yang keluar dari bibir suaminya. Ia tahu, sangat tahu bahwa suaminya sedang ingin berkonsentrasi penuh dengan sesuatu yang dikerjakannya. Seolah olah ia akan kehilangan semua ide itu dalam sekejap jika hal lain mendominasi pikirannya. Lil memaksakan untuk berdiri.  Berjalan dengan gaya yang sedikit aneh demi  sampai di tempat untuk membuat secangkir teh.

Bunyi tumbukan antara sendok teh dengan cangkir mulai mendominasi dalam jeda hening diantara mereka. Kibum berhenti menekan tuts tuts laptopnya. Ia memutar posisi duduknya hingga mata itu beratapan dengan seseorang yang menyeruput sesendok teh di depan mulutnya.
“Menyelesaikan proyekku, tentu saja” jawabnya singkat.
Ia kembali berbalik,  memutar kembali kursi lembut beroda di bawahnya.

Di depan rumah lantai dua, pohon cemara tak urung-urungnya bergoyang seirama denga angin yang datang dari arah timur. Sorot matahari yang belum terlalu terang melukiskan bayangan indah dibalik pohon itu. Dua ekor kelinci putih keluar dari rumah di bawahnya. Satu ekor sedang memakan wortel sisa kemarin, dan yang satu sedang berlarian entah kemana. Diatas padang rumput dengan bunga-bunga pot yang dirawat dengan teratur oleh Lil.
Disisi jalan, terlihat seorang laki-laki baya menuntun sepeda coklat usang miliknya. Sesekali laki-laki tersebut menekan-nekan pijitan di atas setang hingga mengeluarkan bunyi ting ting yang melengking. Kaki tuanya tidak menjadi hambatan untuk memulai aktivitas di pagi hari.
Setelah laki-laki baya itu seutuhnya lepas dari pandangan Kibum, ia beralih pada Lil.

Lil memiliki mata yang cantik. Sepasang mata coklat karamel menyimpan berbagai keanggunan di dalamnya. Dia juga memiliki bibir yang seksi, semacam menjadi sumber kegairahan bagi Kibum. Rambutnya hitam panjang dan lurus sepunggung, jenis rambut yang mudah tersapu angin.

“Apa proyekmu kali ini?” pinta Lil sambil meletakkan cangkir tehnya di sisi meja.

“Hn..” Kibum mencari kata yang tepat untuk memulai.  “Hanya seorang malaikat yang berubah menjadi monster” lanjutnya.

Lil tertawa, menghampiri suaminya dengan –lagi-lagi- jalan dengan gaya yang aneh. “Kau bercanda?”

Kibum menautkan kedua alisnya pertanda tidak setuju dengan apa yang Lil ucapkan. “Bummie, c’mon.. kau tidak berfikiran bahwa cerita malaikat dan monster itu terlalu mainstream di kalangan masyarakat. Aku tidak yakin ada penerbit yang tidak bosan dengan cerita semacam itu” Lil memeluk suaminya dari belakang.

Kibum menghembuskan nafasnya pelan. Dia segera menutup laptop tanpa mematikannya dengan aturan yang semestinya terlebih dahlu. Merapikan beberapa kertas yang tercecer di sekitarnya dan meminum secangkir kopi yang sepertinya telah berubah suhu mengingat dia membuatnya sejak bangun tidur tadi. Wajahnya terlihat sedikit kesal, mata coklat milik Kibum mulai nanar, mengisyaratkan kemarahan yang tertahan.

Kibum kembali berbalik menemui sepasang mata milik Lil yang menatapnya dengan kepolosan. “Tidak perlu marah begitu, sayang. I’m just kidding” goda Lil dengan suaranya yang lembut. Jemarinya menyentuh helaian rambut Kibum namun Kibum menepis. Dia beranjak membawa laptopnya keluar kamar dan setelah itu hanya suara suara langkah kaki yang terdengar semakin pelan.
*** ZenDictator ***

-Lil-

Sejak saat itu Kibum berubah. Aku tidak tahu bagaimana dia samapi berubah sedemikian hingga tidak menjadi dirinya yang sebelumnya. Oh ayolah, aku tidak begitu yakin dia menjadi begitu aneh hanya karena saat itu, maksudku ketika aku mencemooh karyanya.

Bahkan saat tidurpun dia selalu membelakangiku, menghadap sisi satunya. Di pagi hari, dia tidak menyapaku jika bukan aku yang memulai terlebih dahulu. Dia tidak sarapan dirumah jika aku tidak segera bangun pagi dan menyiapkan beberapa potong roti selai di piring meja makan.

Kibum menjadi orang yang lebih diam, sering berangkat pagi dan pulang malam. Aku tidak yakin jika pekerjaan menulisnya mengharuskan dia untuk pulang sampai malam seperti itu.

Kibum memang menjadi penulis yang cukup sukses dengan novel-novelnya. Kisah yang ditulis belum lama sudah diterbitkan. Kebanyakan dari karyanya atau bahkan hampir sepenuhnya adalah cerita fantasi.
Enam atau tujuh bulan setelah ia menerbitkan novel ke sebelasnya, ia beralih profesi menjadi photografer koran. Mungkin karena pemasukan harian kami sudah cukup normal.

Beberapa hari setelah saat itu, Kibum pergi cukup lama, lama, dan lama hingga aku tidak menyadari apakah dia masih berada dalam atap yang sama denganku tanpa aku ketahui.

Pernah suatu keika, mungkin beberapa minggu yang lalu. Aku hampir saja tertidur di sofa ruang tengah ketika aku mendengar suara bunyi dentingan gelas dan benda entah itu apa berjatuhan di lantai dari arah dapur. Aku terhenyak sesaat, mulai menebak apakah itu Kibum. Namun tebakanku mulai menipis mengingat aku tidak mendengar pintu depan terbuka.
Aku berjalan pelan menyusuri sepanjang jalan ke arah dapur, mengendap endap. Tanganku terulur mengambil sebuah payung yang tertutup rapi di samping almari sandal. Melanjutkan berjalan sambil berusaha untuk tidak bersuara. Aku mengangkat payung itu, seolah-olah aku sedang bersiap untuk memukul bola kasti yang akan melayang ke arahku.
Aku membawa kakiku ke dapur, menuruni tangga. Dengan sedikit menunduk berharap cahaya bulan tidak memperjelas bayanganku. Tidak menguak identiasku.

Aku merasa seperti seorang spy.

Aku menekan saklar lampu dengan hati-hati, bersiap mengangkat payung dan memukulkannya pada.... Kibum? Ya. Dia membelalakan keadua matanya, menatapku nanar. Tangan kanannya memegang roti dan tangan kirinya menjinjing tas hitam berisi laptop miliknya. Jaket tebal hitamnya belum dilepas, dan rambutnya acak-acakan. Dengan segera ia menabrak pelan lengan kiriku, meleakan roti itu di atas meja dan pergi meninggalkanku. Tanganku, masih setia menggenggam payung itu hingga akhirnya terjatuh.

Di waktu yang lalin beberapa hari setelah kejadian malam itu, aku mendapati Kibum keluar rumah pagi pagi sekali. Mengenakan jaket tebal hitamnya dan memakai topi berwarna coklat di kepalanya. Aku bertanya pada diriku sendiri, apakah pekerjaannya kali ini memerlukan suasana di pagihari? Namun Kibum tidak membawa tas laptopnya, dia tidak membawa apapun. Aku kembali bertanya, menebak mungkin dia hanya sedang ingin berlari. Namun pertanyaan itu ditepis dengan pertanyaan baru. Mana mungkin berlari harus dengan jaket tebal dan topi?
Ujung-ujungnya pertanyaan itu membuahkan sebuah pertanyaan. Yang aku yakin tidak pernah terjawab.

Semakin hari Kibum semakin menunjukan sikap dinginnya. Ia hanya berkata sukur-sukur bisa mencapai 20 sampai 30 kata per hari.
Sekarang, ia hanya mengucapkan selamat pagi kepadaku. Terkadang malah hanya berupa deheman.

Aku merasa bahwa aku adalah istri yang menyedihkan.

*** ZenDictator ***

Aku membuka mataku perlahan, kutemui bayangan suamiku disana. Dengan –lagi-lagi- jaket tebalnya. Kibum akan pergi meninggalkanku lagi, aku seperti sudah terbiasa dengan kepergiannya. “kau mau kemana?” aku memberanikan diri untuk bertanya. Tidak, aku memang seharusnya bertanya.

“Mencari referensi” jawabnya singkat, lalu dan berjalan keluar kamar kami. Suara dentuman pelan pertanda pintu ditutup yang hanya kudengar. Ingin sekali aku meneteskan air mata. Tapi seakan air mataku mengetahui dan melarangku untuk menangis.

Aku menuju meja rias di sebelah jendela yang masih tertutup gordin, mengoleskan sedikit pelembab muka setelah kubasuh mukaku dengan air. Melukis sedikit bibirku dengan lipgloss bening disana. Aku bersiap untuk memulai hari ini.

Tapi tunggu, memulai apa?
Ini bahkan terlalu pagi untuk bersih-bersih. Matahari dari timurpun belum menampakkan cahayanya.
Tidak ada yang kulakukan, hanya melihat jam dinding yang terus berputar meningglkan waktu.


Tempat tidurku sudah rapi, lantai sudah kusapu sedemikian rupa, wangi lemon dari lantai sangat jelas menusuk hidungku. Mencuci beberapa pakaianku dan milik Kibum, membersihkan dapur, mencuci piring, dan mengganti sarung-sarung bantal di sofa ruang tengah.

Setidaknya, jika Kibum disini, aku bisa merkeluh kesah dengan keseharianku. Bukan, bukan untuk mengeluh lelah tentu saja. Tapi, aku benar-benar sendiri, ya, sendiri.

Aku keluar rumah untuk sekedar mencari sesuatu penghibur diri. Paling tidak aku bisa bertemu dengan tetangga yang sedang melakukan aktivitas seperti biasanya.
Seorang wanita paruh baya disana, sedang mendorong kereta bayi sambil menyendokan –sepertinya- bubur bayi pada seseorang di dalam kereta itu. Senyuman hangat tercipta begitu tulus.
Aku melanjutkan langkahku, masih belum mengetahui akan kubawa kemana kakiku pergi.

Aku sampai di depan toko Wang ajussi, ia menjual banyak buah. Aku memilih apel hijau seperti yang dilakukan dua orang wanita disana. Hanya kemakluman membeli, tidak benar-benar memilih.

“Kali ini motifnya dengan menenggelamkan korban kedalam bak mandi hingga tewas” kata salah satu wanita itu.
“Aku berencana untuk pindah jika sampai ada kejadian keempat” wanita satunya menyahut.
“Setelah mencekik korban dengan sabuk, lalu menikam jantung dari belakang, kali ini dengan menenggelamkannya ya. Apa polisi belum menemukan tanda-tanda apapun mengenai pelaku? Aku curiga bahwa pelaku adalah orang yang sama” Wang ajussi menambahi .

Aku bergidik ngeri mendengar ucapan orang-orang disini. Berita seburuk itu sama sekali tidak terjamah oleh telingaku. Ah, salahkan aku yang tidak pernah keluar rumah apalagi untuk bergosip dengan para tetangga.

Aku menyerahkan apel-apel dan sejumlah kepada Wang ajussi, ia membungkusnya dengan karton coklat dan memberikannya kepadaku beserta kembaliannya.

Berjalan kembali menuju rumah. Dijalan sebelum depan rumahku, aku menemui beberapa orang yang sepertinya memang sedang bergosip. Dan aku yakin hal yang dibicarakan adalah hal yang sama dengan apa yang sudah kuketahui dari toko Wang ajussi tadi.

Apel-apel hijau itu sudah kukupas, bersiap untuk mengupas apel selanjutnya. Masih memikirkan tentang hal yang di bicarakan orang-orang tadi. Mana mungkin di tempat ini ada kejadian semacam itu. Aku tidak mempercayainya.
Hanya dua apel yang sudah kumasukan dalam air, bersiap kucuci dan kemudian aku potong menjadi beberapa. Aku melakukan itu semua untuk diriku sendiri. Ya, memang untuk siapa lagi? Kibum? Tidak.

Kibum? Tiba-tiba aku teringat tentangnya. Dia pergi semenjak pagi buta. Mencari referensi. Tapi bagaimana bisa dia mencari referensi tanpa membawa laptopnya. Lalu bagaimana dia bisa menulis?
Aku mulai berfikiran yang tidak-tidak. Mengingat apa yang dia lakukan akhir-akhir ini. Menjadi dingin dan pendiam. Pergi terlalu pagi dan pulang terlalu malam.
Apa dia selingkuh? Apa dia bermain wanita di luar sana? Apa dia bosan padaku?

Segera kutepis perasaanku itu. Aku berlari menuju kamar dan mengambil laptopnya. Selama ini aku memang tidak pernah membukanya.

Aku membukanya, menjelajah seluruh file-file suamiku. Sedikit bahagia bahwa aku tidak menemukan satu fotopun dia dengan wanita lain. Itu tandanya dia tidak sedang berselingkuh.
Lalu kutelusuri lagi. sebagian besar memang file tulisannya.
Aku melihat file yang paling bawah dengan judul  ‘PROJECT NOW’. Aku membukanya, dan kubaca dengan hikmat.


// The Angel. Seorang iblis yang bersarang dalam tubuh malaikat. Menjadikan wajah malaikat yang suci untuk mengelabuhi makhluk pencipta angkasa.//
//Manusia bodoh yang hanya mampu mengeluh apa yang dia miliki, apa yang dia pikirkan, tidak betul betul menyadari sang iblis datang di sampingnya.//

Aku menurunkan tulisannya.

//Pagi itu, manusia bodoh sedang melakukan aktivitas, ya apalagi memang yang dikerjakan manusia. Aku melihatnya dari kejauhan. Berusaha untuk bersembunyi namun tidak sepenuhnya, berharap ia bisa  melihatku. Dan bingo! Manusia bodoh itu berhasil melihatku. Aku menatapnya dengan pandangan semenggoda mungkin. Berharap dia memberikan jiwa murangnya setelah ini.
Dan benar saja, malam ini aku bertemu dengannya. Wanita itu mengajaku menaiki tangga menuju kamarnya. Pakaiannya sangat minim hingga jika dia membungkuk sedikit saja, kupastikan kalian akan bisa melihat dua gumpalan lembut di dalamnya. Dia menghembuskan nafasnya tepat di depan telingaku, berusaha menggodaku dengan semuanya.
Tanganku dibawanya pada du gumpalan tadi, tangannya di atas tanganku membantu untuk meremas. Aku tidak sungguh menikmatinya. Ku tuntun dia menuju kamar mandi. Seringan jelas terlihat dari bibir wanita itu.//

//Air sudah memenuhi bak mandi di dalam sana. Dia tidak berhenti-berhentinya mencumbuku. Aku mengangkat satu kakinya, kubawa keatas pinggulku. lalu kutuntun dia menuju bak mandi. Kusandarkan punggungnya hingga menatap bak mandi tersebut. Kaki satunya terangkat, ini akan memudahkanku. Aku menyeringai penuh kemenangan. Tidak lama setelah itu, rambutnya yang tergerai lurus kubelai perlahan, lalu menjambaknya hinga kepalanga mendongak. Kuarahkan wajahnya ke dalam bak mandi. Terus, hingga terdalam. Aku tau pasti wanita ini sedang ingin protes akan aksiku, tapi hanya gelembung-gelembung berasal dari mulutnya yang tercipta di dalam sana.//

Aku tidak percaya, ini bukan sepri fiksi. Aku melanjutkan membaca tulisan suamiku.

//Next victim, pagi ini, istriku masih terlelap. Dia- //

Dengan cepat aku menutup laptopnya. Bi*ct! Dia pembunuh! Suamiku psikopat!
Aku membanting piring apel di sebelah laptop itu. Pecahan kaca sudah tercecer dimana-mana.

Dentuman kecil terdengar dari luar pertanda pintu dibuka. Aku mengira apakah itu Kibum?
“Istriku... Lil.. sayang” dia memnaggilku seperti sedang memanggil kucing. Bulu tanganku sudah berdiri sepenuhnya. Kibum, dia sudah menjadi seorang psikopat. Dia yang menjadi pelaku atas apa yang orang-orang bicarakan tadi pagi. Tidak! Ini semua diluar fikiranku.

Aku tertunduk lesu dibawah meja, menggit ujung jariku yang bergetar.
Dia mendekat, semakin dekat kearahku. Tuhan, tolong aku.

“Kau, sudah membacanya, sayang?” dia tersenyum. Bi*ch! Senyum apa itu. Dia terus mendekatiku, mengeluarkan sesuatu dari jaket tebalnya. Dan....

*** ZenDictator ***

Suara sirine polisi mendominasi pendengaranku, dua orang pria membawaku diatas tandu. Tanganku, aku menggenggam sebuah pisau berlumur darah. Dan aku, aku belum mati? Bukankah Kibum sedang berusaha membunuhku tadi? Ya Tuhan, aku belum mati. Lalu ini darah siapa?

Aku melihat keadaan sekitar. Orang-orang melihatku dengan tatapan yang- aku tidak bisa mendeskripsikannya. Dan disana, aku sudah melihat Kibum dengan, badannya yang penuh darah. Dia tidak bergerah sama sekali. Dadanya, perutnya, tanggannya, bahkan sebagian wajahnya penuh dengan darah. Jangan katakan-

Seorang polisi menahanku untuk bangkit, sedari tadi ia hanya berkata untuk menjelaskan semuanya di kantor polisi.
Aku membunuh Kibum, dengan pisau ini.

// Next victim, pagi ini, istriku masih terlelap. Dia begitu manis saat tertidur. Dia pernah berkata bahwa tulisanku hanya lelucon. Haha. Tapi kau tidak akan pernah menemukan lelucon yang seperti ini kan, sayang? Ya.. aku mencoba untuk menulis sesuatu yang berbeda. Dan percayalah, jika malaikat itu memang akan benar-benar menjadi monster. Aku melakukan segala cara hingga Lil, istriku terpengaruh dengan segala sugestiku untuk melakukannya. Ya, dia orang yang berhasil membunuhku dengan tangan sucinya sendiri. Malaikatku, telah membunuh.//

***  ZenDictator ***

-Zen-


Lil mengerjapkan matanya beberapa kali. Cahaya matahari pagi sudah mengganggu penglihatannya. Kasur lembut dengan selimut putih tebal masih membuatnya enggan untuk beranjak. Lil menarik otot-ototnya hingga menghasilkan bunyi gertakan tulang-tulang di sekitar punggungnya.
Ia melihat keadaan sekitar, merasa bingung  dengan perasaan juga pikirannya sendiri. Dan... Kibum? Suaminya baru saja keluar dari kamarnya. Tapi benarkah itu Kibum? Bukankah dia..

Lil akhirnya beranjak dari ranjang dan mencoba menemui apa yang baru saja ia lihat. Membuka pintu kamar dan menuju pria tadi berada.

Wanita itu mengedipkan matanya berulang kali. Mempercayai bahwa ia hanya sedang bermimpi saat mengetahui bahwa suaminya telah mati dengan tangannya. Ia mendekatinya perlahan, menyentuh punggung pria itu yang masih tampak nyata.
Dia.. Kibum. Kibumnya, yang belum mati. Dia masih hidup.

Lil memeluk Punggung Kibum dari belakang. Menangis.
Kibum yang menyadari hal itu melepas kedua tangan Lil dengan cepat. Ditatapnya mata Lil dengan pandangan yang tidak Lil harapkan sama sekali. Lalu dengan sigap meninggalkannya pergi.
“Kau mau kemana?” tanya Lil di tengah keterkejutannya.
“Mencari referensi” Pria itu berjalan menuju pintu keluar, begitu cepat.

Memori itu seolah berputar kembali di otang Lil, dia tertunduk lemas. Tidak mungkin, tidak mungkin Kibumnya seorang psikopat. Tidak.

Lil berlari menuju kamarnya, ditutupnya seluruh tubuh mungil itu dengan selimut tebal yang selalu menjadi penghangat tidurnya. Tubuhnya bergetar. Dia hanya berpikir tempat mana yang bisa ia gunakan untuk melarikan diri.

Suara pintu terbuka terdengar jelas di telinga Lil, ia semakin takut dengan semuanya.

“Istriku... Lil... sayang” Lil membelalakan matanya, masih di dalam selimut. Itu suara Kibum. Memorinya kembali berputar pada kejadian dimana.. diaman Ia membunuh suaminya sendiri.

Langkah kaki semakin terdengar jelas seiring mendekatnya orang itu. Pria itu menghadap kebelakang memunggungi seseorang yang sedang ketakutan di dalam selimut.

“Lil~” Benar, Kibum membuat suara semanis mungkin.

“Tidak! Jangan mendekat!” Lil membuka selimut itu. Membuat tanda dari tangan agar idak mendekatinya.

“Wae hn?” Kibum semakin memundurkan langkahnya, itu artinya ia semakin mendekati diamana posisi Lil sekarang.

“Tidak Bummie.. kumohon jangan! Aku tidak mau ada yang mati! Kumohon. Aku mencintaimu!” Lil menangis, airmatanya dengan mudah turun perlahan membasahi pipinya.

“Apa maksudmu sayang? Aku juga mencintaimu.” Kibum membalikan badannya. “Happy birtday!” Tangannya membawa kue tart coklat berhias satu lilin yang sudah menyala. Senyum merekah dari bibir manis Kibum.
Lil terdiam kaku, hanya menatap suaminya.

Kibum menghampiri Lil yang berantakan, rambutnya acak-acakan, matanya tergenang air dan meluber kemana-mana.

“Kau.. tidak akan menyuruhku untuk membunuhmu kan?” Lil masih terisak.
“Kau bicara apa? Tentu saja tidak”
“Kau bukan psikopat kan?”
“Haha, istriku baru saja mengigau rupanya. Ayo minta permohonan dan tiup lilinmu.”

Lil menggenggam kedua tangannya dan meletakkannya di depan dada. Memejamkan kedua mata dan memulai apa yang akan dia lakukan. Setelah itu, lilin di atas kue yang Kibum sudah padam menyisakan sedikit asap bekas tiupan dari mulut Lil.

“Kau minta apa, sayang?” tanya Kibum.
“Aku berharap, suamiku bukan psikopat. Aku mencintaimu.”

Setelahnya, hanya bunyi bibir beradu dari ruangan itu. Entah apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.

-END-

This fict, specialy for you ‘Abidatul Lailyah’ Happy bithday. And forgive me, mungkin ff ini tidak sesuai dengan apa yang kau harapkan . Maklum saja aku bukan seorang author ^^

Sekali lagi. HAPPY BIRTHDAY!!!



Zen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar