Tittle : Dream
Auhor : ZenDictator
Cast : -Kibum
-Lil (OC)
Genre : Crime, Romance
Rated : PG-14
Special for Lil’s
birthday...
Pagi itu, suhu
dingin masih membaur dengan aroma pohon cemara di dipan rumah. Suasana setelah
hujan di malam hari membuat suasana kenyamanan tersendiri bagi pemilik rumah.
Kibum menikmati
pagi itu, semilir angin beberapa kali menerbangkan helai-helai rambut
hitamnya. Jarinya menari nari diatas
tuts laptop sedangkan matanya tak pernah tidak fokus pada layar kaca di
atasnya.
Ide seolah olah
meluncur dengan deras di kepalanya, menyesak, memenuhi. Seakan berebutan
memilah kata yang tepat untuk ia tulis.
“Kau seperti
mendapat mangsa baru, sayang” seorang
wanita menyapanya. Ia baru saja terbangun dari tidur lelapnya beberapa jam
lalu. “Apa yang kau fikirkan?” Lil bertanya, namun tidak sungguh sungguh
bertanya. Tepatnya ia hanya mencoba mengisi kekosongan yang ada diantara
mereka.
Mata coklatnya mengarah pada punggung Kibum
tidak jauh dari tempatnya saat ini. Ia mencoba turun dari tempat tidurnya,
namun niat itu ia urungkan mengingat akan hal yang baru mereka selesaikan
beberapa jam lalu. Rasanya sakit, masih sakit di sekitar daerah itu. Ia merasa
kesulitan berdiri.
Keheningan
kembali tercipta. Lil mendengus beberapa kali menunggu sebuah kata yang keluar
dari bibir suaminya. Ia tahu, sangat tahu bahwa suaminya sedang ingin
berkonsentrasi penuh dengan sesuatu yang dikerjakannya. Seolah olah ia akan
kehilangan semua ide itu dalam sekejap jika hal lain mendominasi pikirannya.
Lil memaksakan untuk berdiri. Berjalan
dengan gaya yang sedikit aneh demi sampai di tempat untuk membuat secangkir teh.
Bunyi tumbukan
antara sendok teh dengan cangkir mulai mendominasi dalam jeda hening diantara
mereka. Kibum berhenti menekan tuts tuts laptopnya. Ia memutar posisi duduknya
hingga mata itu beratapan dengan seseorang yang menyeruput sesendok teh di
depan mulutnya.
“Menyelesaikan
proyekku, tentu saja” jawabnya singkat.
Ia kembali
berbalik, memutar kembali kursi lembut
beroda di bawahnya.
Di depan rumah
lantai dua, pohon cemara tak urung-urungnya bergoyang seirama denga angin yang
datang dari arah timur. Sorot matahari yang belum terlalu terang melukiskan
bayangan indah dibalik pohon itu. Dua ekor kelinci putih keluar dari rumah di
bawahnya. Satu ekor sedang memakan wortel sisa kemarin, dan yang satu sedang
berlarian entah kemana. Diatas padang rumput dengan bunga-bunga pot yang
dirawat dengan teratur oleh Lil.
Disisi jalan,
terlihat seorang laki-laki baya menuntun sepeda coklat usang miliknya. Sesekali
laki-laki tersebut menekan-nekan pijitan di atas setang hingga mengeluarkan
bunyi ting ting yang melengking. Kaki tuanya tidak menjadi hambatan untuk
memulai aktivitas di pagi hari.
Setelah laki-laki
baya itu seutuhnya lepas dari pandangan Kibum, ia beralih pada Lil.
Lil memiliki mata
yang cantik. Sepasang mata coklat karamel menyimpan berbagai keanggunan di
dalamnya. Dia juga memiliki bibir yang seksi, semacam menjadi sumber kegairahan
bagi Kibum. Rambutnya hitam panjang dan lurus sepunggung, jenis rambut yang
mudah tersapu angin.
“Apa proyekmu
kali ini?” pinta Lil sambil meletakkan cangkir tehnya di sisi meja.
“Hn..” Kibum
mencari kata yang tepat untuk memulai.
“Hanya seorang malaikat yang berubah menjadi monster” lanjutnya.
Lil tertawa,
menghampiri suaminya dengan –lagi-lagi- jalan dengan gaya yang aneh. “Kau
bercanda?”
Kibum menautkan
kedua alisnya pertanda tidak setuju dengan apa yang Lil ucapkan. “Bummie,
c’mon.. kau tidak berfikiran bahwa cerita malaikat dan monster itu terlalu
mainstream di kalangan masyarakat. Aku tidak yakin ada penerbit yang tidak
bosan dengan cerita semacam itu” Lil memeluk suaminya dari belakang.
Kibum
menghembuskan nafasnya pelan. Dia segera menutup laptop tanpa mematikannya
dengan aturan yang semestinya terlebih dahlu. Merapikan beberapa kertas yang
tercecer di sekitarnya dan meminum secangkir kopi yang sepertinya telah berubah
suhu mengingat dia membuatnya sejak bangun tidur tadi. Wajahnya terlihat
sedikit kesal, mata coklat milik Kibum mulai nanar, mengisyaratkan kemarahan
yang tertahan.
Kibum kembali
berbalik menemui sepasang mata milik Lil yang menatapnya dengan kepolosan.
“Tidak perlu marah begitu, sayang. I’m just kidding” goda Lil dengan suaranya
yang lembut. Jemarinya menyentuh helaian rambut Kibum namun Kibum menepis. Dia
beranjak membawa laptopnya keluar kamar dan setelah itu hanya suara suara
langkah kaki yang terdengar semakin pelan.
*** ZenDictator ***
-Lil-
Sejak saat itu
Kibum berubah. Aku tidak tahu bagaimana dia samapi berubah sedemikian hingga
tidak menjadi dirinya yang sebelumnya. Oh ayolah, aku tidak begitu yakin dia
menjadi begitu aneh hanya karena saat itu, maksudku ketika aku mencemooh
karyanya.
Bahkan saat
tidurpun dia selalu membelakangiku, menghadap sisi satunya. Di pagi hari, dia
tidak menyapaku jika bukan aku yang memulai terlebih dahulu. Dia tidak sarapan
dirumah jika aku tidak segera bangun pagi dan menyiapkan beberapa potong roti
selai di piring meja makan.
Kibum menjadi
orang yang lebih diam, sering berangkat pagi dan pulang malam. Aku tidak yakin
jika pekerjaan menulisnya mengharuskan dia untuk pulang sampai malam seperti
itu.
Kibum memang
menjadi penulis yang cukup sukses dengan novel-novelnya. Kisah yang ditulis
belum lama sudah diterbitkan. Kebanyakan dari karyanya atau bahkan hampir
sepenuhnya adalah cerita fantasi.
Enam atau tujuh
bulan setelah ia menerbitkan novel ke sebelasnya, ia beralih profesi menjadi
photografer koran. Mungkin karena pemasukan harian kami sudah cukup normal.
Beberapa hari
setelah saat itu, Kibum pergi cukup lama, lama, dan lama hingga aku tidak
menyadari apakah dia masih berada dalam atap yang sama denganku tanpa aku
ketahui.
Pernah suatu
keika, mungkin beberapa minggu yang lalu. Aku hampir saja tertidur di sofa
ruang tengah ketika aku mendengar suara bunyi dentingan gelas dan benda entah
itu apa berjatuhan di lantai dari arah dapur. Aku terhenyak sesaat, mulai
menebak apakah itu Kibum. Namun tebakanku mulai menipis mengingat aku tidak
mendengar pintu depan terbuka.
Aku berjalan
pelan menyusuri sepanjang jalan ke arah dapur, mengendap endap. Tanganku
terulur mengambil sebuah payung yang tertutup rapi di samping almari sandal.
Melanjutkan berjalan sambil berusaha untuk tidak bersuara. Aku mengangkat
payung itu, seolah-olah aku sedang bersiap untuk memukul bola kasti yang akan
melayang ke arahku.
Aku membawa
kakiku ke dapur, menuruni tangga. Dengan sedikit menunduk berharap cahaya bulan
tidak memperjelas bayanganku. Tidak menguak identiasku.
Aku merasa
seperti seorang spy.
Aku menekan
saklar lampu dengan hati-hati, bersiap mengangkat payung dan memukulkannya
pada.... Kibum? Ya. Dia membelalakan keadua matanya, menatapku nanar. Tangan
kanannya memegang roti dan tangan kirinya menjinjing tas hitam berisi laptop
miliknya. Jaket tebal hitamnya belum dilepas, dan rambutnya acak-acakan. Dengan
segera ia menabrak pelan lengan kiriku, meleakan roti itu di atas meja dan
pergi meninggalkanku. Tanganku, masih setia menggenggam payung itu hingga
akhirnya terjatuh.
Di waktu yang
lalin beberapa hari setelah kejadian malam itu, aku mendapati Kibum keluar
rumah pagi pagi sekali. Mengenakan jaket tebal hitamnya dan memakai topi
berwarna coklat di kepalanya. Aku bertanya pada diriku sendiri, apakah
pekerjaannya kali ini memerlukan suasana di pagihari? Namun Kibum tidak membawa
tas laptopnya, dia tidak membawa apapun. Aku kembali bertanya, menebak mungkin
dia hanya sedang ingin berlari. Namun pertanyaan itu ditepis dengan pertanyaan
baru. Mana mungkin berlari harus dengan jaket tebal dan topi?
Ujung-ujungnya
pertanyaan itu membuahkan sebuah pertanyaan. Yang aku yakin tidak pernah
terjawab.
Semakin hari
Kibum semakin menunjukan sikap dinginnya. Ia hanya berkata sukur-sukur bisa
mencapai 20 sampai 30 kata per hari.
Sekarang, ia
hanya mengucapkan selamat pagi kepadaku. Terkadang malah hanya berupa deheman.
Aku merasa bahwa
aku adalah istri yang menyedihkan.
*** ZenDictator ***
Aku membuka
mataku perlahan, kutemui bayangan suamiku disana. Dengan –lagi-lagi- jaket
tebalnya. Kibum akan pergi meninggalkanku lagi, aku seperti sudah terbiasa
dengan kepergiannya. “kau mau kemana?” aku memberanikan diri untuk bertanya.
Tidak, aku memang seharusnya bertanya.
“Mencari
referensi” jawabnya singkat, lalu dan berjalan keluar kamar kami. Suara
dentuman pelan pertanda pintu ditutup yang hanya kudengar. Ingin sekali aku
meneteskan air mata. Tapi seakan air mataku mengetahui dan melarangku untuk
menangis.
Aku menuju meja
rias di sebelah jendela yang masih tertutup gordin, mengoleskan sedikit
pelembab muka setelah kubasuh mukaku dengan air. Melukis sedikit bibirku dengan
lipgloss bening disana. Aku bersiap untuk memulai hari ini.
Tapi tunggu,
memulai apa?
Ini bahkan
terlalu pagi untuk bersih-bersih. Matahari dari timurpun belum menampakkan
cahayanya.
Tidak ada yang
kulakukan, hanya melihat jam dinding yang terus berputar meningglkan waktu.
Tempat tidurku
sudah rapi, lantai sudah kusapu sedemikian rupa, wangi lemon dari lantai sangat
jelas menusuk hidungku. Mencuci beberapa pakaianku dan milik Kibum,
membersihkan dapur, mencuci piring, dan mengganti sarung-sarung bantal di sofa
ruang tengah.
Setidaknya, jika
Kibum disini, aku bisa merkeluh kesah dengan keseharianku. Bukan, bukan untuk
mengeluh lelah tentu saja. Tapi, aku benar-benar sendiri, ya, sendiri.
Aku keluar rumah
untuk sekedar mencari sesuatu penghibur diri. Paling tidak aku bisa bertemu
dengan tetangga yang sedang melakukan aktivitas seperti biasanya.
Seorang wanita
paruh baya disana, sedang mendorong kereta bayi sambil menyendokan –sepertinya-
bubur bayi pada seseorang di dalam kereta itu. Senyuman hangat tercipta begitu
tulus.
Aku melanjutkan
langkahku, masih belum mengetahui akan kubawa kemana kakiku pergi.
Aku sampai di
depan toko Wang ajussi, ia menjual banyak buah. Aku memilih apel hijau seperti
yang dilakukan dua orang wanita disana. Hanya kemakluman membeli, tidak
benar-benar memilih.
“Kali ini
motifnya dengan menenggelamkan korban kedalam bak mandi hingga tewas” kata
salah satu wanita itu.
“Aku berencana
untuk pindah jika sampai ada kejadian keempat” wanita satunya menyahut.
“Setelah mencekik
korban dengan sabuk, lalu menikam jantung dari belakang, kali ini dengan
menenggelamkannya ya. Apa polisi belum menemukan tanda-tanda apapun mengenai
pelaku? Aku curiga bahwa pelaku adalah orang yang sama” Wang ajussi menambahi .
Aku bergidik
ngeri mendengar ucapan orang-orang disini. Berita seburuk itu sama sekali tidak
terjamah oleh telingaku. Ah, salahkan aku yang tidak pernah keluar rumah apalagi
untuk bergosip dengan para tetangga.
Aku menyerahkan
apel-apel dan sejumlah kepada Wang ajussi, ia membungkusnya dengan karton
coklat dan memberikannya kepadaku beserta kembaliannya.
Berjalan kembali
menuju rumah. Dijalan sebelum depan rumahku, aku menemui beberapa orang yang
sepertinya memang sedang bergosip. Dan aku yakin hal yang dibicarakan adalah
hal yang sama dengan apa yang sudah kuketahui dari toko Wang ajussi tadi.
Apel-apel hijau
itu sudah kukupas, bersiap untuk mengupas apel selanjutnya. Masih memikirkan
tentang hal yang di bicarakan orang-orang tadi. Mana mungkin di tempat ini ada
kejadian semacam itu. Aku tidak mempercayainya.
Hanya dua apel
yang sudah kumasukan dalam air, bersiap kucuci dan kemudian aku potong menjadi
beberapa. Aku melakukan itu semua untuk diriku sendiri. Ya, memang untuk siapa
lagi? Kibum? Tidak.
Kibum? Tiba-tiba
aku teringat tentangnya. Dia pergi semenjak pagi buta. Mencari referensi. Tapi
bagaimana bisa dia mencari referensi tanpa membawa laptopnya. Lalu bagaimana dia
bisa menulis?
Aku mulai
berfikiran yang tidak-tidak. Mengingat apa yang dia lakukan akhir-akhir ini.
Menjadi dingin dan pendiam. Pergi terlalu pagi dan pulang terlalu malam.
Apa dia
selingkuh? Apa dia bermain wanita di luar sana? Apa dia bosan padaku?
Segera kutepis
perasaanku itu. Aku berlari menuju kamar dan mengambil laptopnya. Selama ini
aku memang tidak pernah membukanya.
Aku membukanya,
menjelajah seluruh file-file suamiku. Sedikit bahagia bahwa aku tidak menemukan
satu fotopun dia dengan wanita lain. Itu tandanya dia tidak sedang
berselingkuh.
Lalu kutelusuri
lagi. sebagian besar memang file tulisannya.
Aku melihat file
yang paling bawah dengan judul ‘PROJECT
NOW’. Aku membukanya, dan kubaca dengan hikmat.
// The Angel.
Seorang iblis yang bersarang dalam tubuh malaikat. Menjadikan wajah malaikat
yang suci untuk mengelabuhi makhluk pencipta angkasa.//
//Manusia bodoh
yang hanya mampu mengeluh apa yang dia miliki, apa yang dia pikirkan, tidak
betul betul menyadari sang iblis datang di sampingnya.//
Aku menurunkan
tulisannya.
//Pagi itu,
manusia bodoh sedang melakukan aktivitas, ya apalagi memang yang dikerjakan
manusia. Aku melihatnya dari kejauhan. Berusaha untuk bersembunyi namun tidak
sepenuhnya, berharap ia bisa melihatku.
Dan bingo! Manusia bodoh itu berhasil melihatku. Aku menatapnya dengan
pandangan semenggoda mungkin. Berharap dia memberikan jiwa murangnya setelah
ini.
Dan benar saja,
malam ini aku bertemu dengannya. Wanita itu mengajaku menaiki tangga menuju
kamarnya. Pakaiannya sangat minim hingga jika dia membungkuk sedikit saja,
kupastikan kalian akan bisa melihat dua gumpalan lembut di dalamnya. Dia
menghembuskan nafasnya tepat di depan telingaku, berusaha menggodaku dengan
semuanya.
Tanganku
dibawanya pada du gumpalan tadi, tangannya di atas tanganku membantu untuk
meremas. Aku tidak sungguh menikmatinya. Ku tuntun dia menuju kamar mandi.
Seringan jelas terlihat dari bibir wanita itu.//
//Air sudah
memenuhi bak mandi di dalam sana. Dia tidak berhenti-berhentinya mencumbuku.
Aku mengangkat satu kakinya, kubawa keatas pinggulku. lalu kutuntun dia menuju
bak mandi. Kusandarkan punggungnya hingga menatap bak mandi tersebut. Kaki
satunya terangkat, ini akan memudahkanku. Aku menyeringai penuh kemenangan.
Tidak lama setelah itu, rambutnya yang tergerai lurus kubelai perlahan, lalu
menjambaknya hinga kepalanga mendongak. Kuarahkan wajahnya ke dalam bak mandi.
Terus, hingga terdalam. Aku tau pasti wanita ini sedang ingin protes akan
aksiku, tapi hanya gelembung-gelembung berasal dari mulutnya yang tercipta di
dalam sana.//
Aku tidak
percaya, ini bukan sepri fiksi. Aku melanjutkan membaca tulisan suamiku.
//Next victim,
pagi ini, istriku masih terlelap. Dia- //
Dengan cepat aku
menutup laptopnya. Bi*ct! Dia pembunuh! Suamiku psikopat!
Aku membanting
piring apel di sebelah laptop itu. Pecahan kaca sudah tercecer dimana-mana.
Dentuman kecil
terdengar dari luar pertanda pintu dibuka. Aku mengira apakah itu Kibum?
“Istriku... Lil..
sayang” dia memnaggilku seperti sedang memanggil kucing. Bulu tanganku sudah
berdiri sepenuhnya. Kibum, dia sudah menjadi seorang psikopat. Dia yang menjadi
pelaku atas apa yang orang-orang bicarakan tadi pagi. Tidak! Ini semua diluar
fikiranku.
Aku tertunduk
lesu dibawah meja, menggit ujung jariku yang bergetar.
Dia mendekat,
semakin dekat kearahku. Tuhan, tolong aku.
“Kau, sudah
membacanya, sayang?” dia tersenyum. Bi*ch! Senyum apa itu. Dia terus
mendekatiku, mengeluarkan sesuatu dari jaket tebalnya. Dan....
*** ZenDictator ***
Suara sirine
polisi mendominasi pendengaranku, dua orang pria membawaku diatas tandu.
Tanganku, aku menggenggam sebuah pisau berlumur darah. Dan aku, aku belum mati?
Bukankah Kibum sedang berusaha membunuhku tadi? Ya Tuhan, aku belum mati. Lalu
ini darah siapa?
Aku melihat
keadaan sekitar. Orang-orang melihatku dengan tatapan yang- aku tidak bisa
mendeskripsikannya. Dan disana, aku sudah melihat Kibum dengan, badannya yang
penuh darah. Dia tidak bergerah sama sekali. Dadanya, perutnya, tanggannya,
bahkan sebagian wajahnya penuh dengan darah. Jangan katakan-
Seorang polisi
menahanku untuk bangkit, sedari tadi ia hanya berkata untuk menjelaskan
semuanya di kantor polisi.
Aku membunuh
Kibum, dengan pisau ini.
// Next victim,
pagi ini, istriku masih terlelap. Dia begitu manis saat tertidur. Dia pernah
berkata bahwa tulisanku hanya lelucon. Haha. Tapi kau tidak akan pernah
menemukan lelucon yang seperti ini kan, sayang? Ya.. aku mencoba untuk menulis
sesuatu yang berbeda. Dan percayalah, jika malaikat itu memang akan benar-benar
menjadi monster. Aku melakukan segala cara hingga Lil, istriku terpengaruh
dengan segala sugestiku untuk melakukannya. Ya, dia orang yang berhasil
membunuhku dengan tangan sucinya sendiri. Malaikatku, telah membunuh.//
*** ZenDictator ***
-Zen-
Lil mengerjapkan
matanya beberapa kali. Cahaya matahari pagi sudah mengganggu penglihatannya.
Kasur lembut dengan selimut putih tebal masih membuatnya enggan untuk beranjak.
Lil menarik otot-ototnya hingga menghasilkan bunyi gertakan tulang-tulang di
sekitar punggungnya.
Ia melihat
keadaan sekitar, merasa bingung dengan
perasaan juga pikirannya sendiri. Dan... Kibum? Suaminya baru saja keluar dari kamarnya.
Tapi benarkah itu Kibum? Bukankah dia..
Lil akhirnya
beranjak dari ranjang dan mencoba menemui apa yang baru saja ia lihat. Membuka
pintu kamar dan menuju pria tadi berada.
Wanita itu
mengedipkan matanya berulang kali. Mempercayai bahwa ia hanya sedang bermimpi
saat mengetahui bahwa suaminya telah mati dengan tangannya. Ia mendekatinya
perlahan, menyentuh punggung pria itu yang masih tampak nyata.
Dia.. Kibum. Kibumnya,
yang belum mati. Dia masih hidup.
Lil memeluk
Punggung Kibum dari belakang. Menangis.
Kibum yang
menyadari hal itu melepas kedua tangan Lil dengan cepat. Ditatapnya mata Lil
dengan pandangan yang tidak Lil harapkan sama sekali. Lalu dengan sigap meninggalkannya
pergi.
“Kau mau kemana?”
tanya Lil di tengah keterkejutannya.
“Mencari
referensi” Pria itu berjalan menuju pintu keluar, begitu cepat.
Memori itu seolah
berputar kembali di otang Lil, dia tertunduk lemas. Tidak mungkin, tidak
mungkin Kibumnya seorang psikopat. Tidak.
Lil berlari
menuju kamarnya, ditutupnya seluruh tubuh mungil itu dengan selimut tebal yang
selalu menjadi penghangat tidurnya. Tubuhnya bergetar. Dia hanya berpikir
tempat mana yang bisa ia gunakan untuk melarikan diri.
Suara pintu
terbuka terdengar jelas di telinga Lil, ia semakin takut dengan semuanya.
“Istriku...
Lil... sayang” Lil membelalakan matanya, masih di dalam selimut. Itu suara
Kibum. Memorinya kembali berputar pada kejadian dimana.. diaman Ia membunuh
suaminya sendiri.
Langkah kaki
semakin terdengar jelas seiring mendekatnya orang itu. Pria itu menghadap
kebelakang memunggungi seseorang yang sedang ketakutan di dalam selimut.
“Lil~” Benar,
Kibum membuat suara semanis mungkin.
“Tidak! Jangan
mendekat!” Lil membuka selimut itu. Membuat tanda dari tangan agar idak
mendekatinya.
“Wae hn?” Kibum
semakin memundurkan langkahnya, itu artinya ia semakin mendekati diamana posisi
Lil sekarang.
“Tidak Bummie..
kumohon jangan! Aku tidak mau ada yang mati! Kumohon. Aku mencintaimu!” Lil
menangis, airmatanya dengan mudah turun perlahan membasahi pipinya.
“Apa maksudmu
sayang? Aku juga mencintaimu.” Kibum membalikan badannya. “Happy birtday!”
Tangannya membawa kue tart coklat berhias satu lilin yang sudah menyala. Senyum
merekah dari bibir manis Kibum.
Lil terdiam kaku,
hanya menatap suaminya.
Kibum menghampiri
Lil yang berantakan, rambutnya acak-acakan, matanya tergenang air dan meluber
kemana-mana.
“Kau.. tidak akan
menyuruhku untuk membunuhmu kan?” Lil masih terisak.
“Kau bicara apa?
Tentu saja tidak”
“Kau bukan
psikopat kan?”
“Haha, istriku
baru saja mengigau rupanya. Ayo minta permohonan dan tiup lilinmu.”
Lil menggenggam
kedua tangannya dan meletakkannya di depan dada. Memejamkan kedua mata dan
memulai apa yang akan dia lakukan. Setelah itu, lilin di atas kue yang Kibum
sudah padam menyisakan sedikit asap bekas tiupan dari mulut Lil.
“Kau minta apa,
sayang?” tanya Kibum.
“Aku berharap,
suamiku bukan psikopat. Aku mencintaimu.”
Setelahnya, hanya
bunyi bibir beradu dari ruangan itu. Entah apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
-END-
This fict,
specialy for you ‘Abidatul Lailyah’ Happy bithday. And forgive me, mungkin ff
ini tidak sesuai dengan apa yang kau harapkan . Maklum saja aku bukan seorang
author ^^
Sekali lagi.
HAPPY BIRTHDAY!!!
Zen